viewers

Sabtu, 24 Februari 2018

perjalanan ipnu

PRINSIP PERJUANGAN IPNU-IPPNU

Posted by PC. IPNU-IPPNU KABUPATEN BATANG 17.09, under | No comments
PRINSIP PERJUANGAN IPNU-IPPNU (P2 IPNU-IPPNU)

I. MUKADIMAH
Manusia adalah hamba Allah (abdullah) dan sekaligus pemimpin (khalifatullah filardh). Sebagai hamba, kewajibanya adalah beribadah, mengabdi kepada Allah SWT, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Sebagai khalifah, tugasnya adalah meneruskan risalah kenabian, yakni mengelola bumi dan seisinya. Keduanya terkait, tidak terpisah, dan saling menunjang. Mencapai salah satunya, dengan mengabaikan yang lain, adalah kemustahilan. Keduanya juga terikat oleh konteks kesejarahan yang senantiasa bergeser. Inilah amanah suci setiap insan.
Dalam Al Qur’an ditegaskan, makna manusia sebagai khalifah memiliki dimensi sosial (horizontal), yakni mengenal alam (QS 2:31), memikirkannya (QS 2: 164) dan memanfaatkan alam dan isinya demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri (QS 11:61). Sedangkan fungsi manusia sebagai hamba Allah memiliki dimensi ilahiah (vertical), yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan ucapan di hadapan Allah SWT.
Risalah ini sudah dimulai sejak dahulu kala, sejak nabi Muhammad saw memperkenalkan perjuangan suci yang mengubah peradaban gelap menuju peradaban yang tercerahkan. Tugas suci yang mulia ini telah dilaksanakan para pejuang dan para leluhur kita, yang menjawab tantangan zamannya, sesuai dengan dinamika zamannya. Sekarang, setelah sekian lama abad risalah tersebut berjalan, manusia dihadapkan oleh tantangan baru. Zaman telah bergeser. Seiring dengan itu juga terjadi pergeseran tantangan zaman. Tugas untuk menjawab tantangan ini jelas bukan tanggung jawab generasi terdahulu, melainkan tugas generasi sekarang.
Tantangan tersebut berada dalam tingkatan internasional, nasional, dan lokal. Tantangan tersebut mencakup ranah keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pendidikan. Perkembangan sosial yang pesat dalam berbagai dataran tersebut tidak identik dengan naiknya derajat peradaban manusia. Sebaliknya, berbagai ketidakadilan sosial menyelimuti kehidupan kita. Karenanya, perjuangan keislaman dalam konteks kebangsaan Indonesia senantiasa bergulir setiap waktu, tidak pernah usai. Saat ini, tantangan itu begitu nyata, berkesinambungan dan meluas. Sebagai generasi terpelajar yang mewarisi ruh perjuangan panjang di negeri ini, IPNU-IPPNU terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi tanah air tercinta. Bagi IPNU-IPPNU, hal ini adalah tugas suci dan kehormatan yang diamanahkan oleh Allah SWT.
Cita-cita perjuangan dan tantangan sosial tersebut mendorong IPNU-IPPNU untuk merumuskan konsepsi ideologis (pandangan hidup yang diyakininya) berupa Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU sebagai landasan berfikir, analisis, bertindak, berperilaku, dan berorganisasi. Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU adalah perwujudan dari tugas profetik (kenabian) dalam konteks IPNU-IPPNU.

II. LANDASAN HISTORIS
1. Kondisi IPNU-IPPNU Fase Pendirian dan Dinamika Perubahan
IPNU-IPPNU yang lahir pada tanggal 24 Februari 1954 M, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H, hingga menjelang kongres XI tahun 1988 mempunyai kepanjangan “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama". Sesuai dengan namanya, maka dalam rentang waktu tersebut, pembinaan IPNU-IPPNU tertuju hanya pada pelajar-pelajar NU yang masih muda dan duduk di bangku sekolah. Basis IPNU-IPPNU berada di lingkungan sekolah milik NU.
Perubahan zaman, situasi, dan kondisi, telah mempengaruhi perkembangan organisasi. Hal ini menuntut para pengurus IPNU-IPPNU untuk tanggap dan kritis terhadap perkembangan tersebut. Dari sinilah Kongress X IPNU-IPPNU akhirnya berhasil menetapkan Deklarasi Jombang tentang perubahan nama, sehingga menjadi “Ikatan Putra Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan nama tersebut, maka perubahan dalam berbagai sektor pun tidak dapat dielakkan. Pembinaan IPNU-IPPNU tidak lagi hanya terbatas pada warga NU yang berstatus pelajar, melainkan mencakup semua putra NU.

2. Kondisi IPNU-IPPNU Sebelum Khittah
IPNU-IPPNU merupakan ujung tombak kaderisasi Nahdlatul Ulama. Namun kenyataan tak selalu sesuai harapan. Keperkasaan IPNU-IPPNU sebagai kader pelajar NU dari berbagai disiplin ilmu pada akhirnya tidak dapat dipertahankan, sehingga berbagai program yang telah digariskan oleh garis perjuangan dan strategi organisasi gagal diterapkan secara tuntas. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan mendasar, sehingga kader-kader NU yang sangat besar jumlahnya harus gugur perlahan tanpa sempat berkembang dan mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu akar dari kondisi tersebut, selain kondisi dari dalam tubuh IPNU-IPPNU yang belum memiliki sistem yang kuat, terkait erat dengan organisasi induknya NU, yang pada saat itu terbawa arus politik. Arus politik yang begitu besar menyebabkan perhatian dan penguatan terhadap umat menjadi melemah dan terbengkalai. Situasi inilah yang membuat iklim tidak sehat bagi organisasi, sehingga banyak yang jera terhadapnya. Pada sisi lain, tekanan politik terhadap NU memaksa kader IPNU-IPPNU harus memakai baju dan simbol lain dalam pergaulannya di masyarakat.

3. Kondisi IPNU-IPPNU Setelah Khittah
Perkembangan IPNU-IPPNU pasca-Khittah NU 1926 dan Kongres Jombang sangat menggembirakan. Khittah NU telah menciptakan iklim yang mendukung bagi pengembangan organisasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan NU dan badan-badan otonomnya, termasuk IPNU-IPPNU. Usaha memperteguh organisasi, pengetahuan, dan pandangan hidup, dilakukan terus menerus untuk meningkatkan mutu organisasi. Sebagai badan otonom NU, IPNU-IPPNU aktif melakukan kegiatan-kegiatan antara lain penataan kembali perangkat-perangkat yang menunjang organisasi, kaderisasi, dan pengembangan rintisan kerja sama dengan berbagai pihak. Namun demikian, disadari hal-hal tersebut belum tercapai dengan sempurna.

4. Kondisi IPNU-IPPNU era Reformasi
Di era reformasi, IPNU-IPPNU dituntut melangkah lebih cepat di tengah arus perubahan yang tidak menentu, di tengah iklim pragmatisme sesaat dalam berpolitik, dan kebebasan yang tak terkendali. Pada era ini muncul kesadaran bersama untuk mengembalikan IPNU-IPPNU pada garis kelahirannya, yaitu kembali ke basis pelajar yang telah ditinggalkan. Kesadaran ini diperkuat dengan munculnya Deklarasi Makassar pada kongres IPNU-IPPNU XIII di Makassar.
Pilihan ini mendorong IPNU-IPPNU untuk kembali pada tujuannya semula. Sebab disadari bahwa ternyata selama ini IPNU-IPPNU belum banyak memberikan kontribusi bagi kader, masyarakat, dan negara. Disadari pula bahwa pelajar (siswa dan santri), sebagai kader yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan, selama ini belum mendapat perhatian dan pendampingan pendampingan yang optimal. Kembali ke basis (sekolah dan pesantren) menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda.

Landasan kesejarahan di atas menjadi titik pijak yang sangat penting bagi IPNU-IPPNU untuk melakukan kerja-kerja kulturalnya. Semakin banyak tantangan yang dihadapi mestilah semakin matang bangunan paradigma organisasinya. Berdasarkan lanskap historis di atas dan kebutuhan penguatan ideologi dan paradigma gerakan IPNU-IPPNU, maka dirasa mendesak adanya suatu rumusan Prinsip Perjuangan IPNU-IPPNU yang menjadi pijakan paradigmatik IPNU-IPPNU.

II. LANDASAN BERFIKIR
Sebagaimana ditetapkan dalam khittah 1926, Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak bagi warga Nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak IPNU-IPPNU, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang.
a. Cara Berfikir.
Cara berfikir menurut IPNU-IPPNU sebagai manifestasi ahlussunah wal jama’ah adalah cara berfikir teratur dan runtut dengan memadukan antara dalil naqli (yang berdasar al-Qur’an dan Hadits) dengan dalil aqli (yang berbasis pada akal budi) dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman). Karena itu, di sini IPNU-IPPNU menolak cara berpikir yang berlandaskan pada akal budi semata, sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir bebas (liberal tingkers) dan kebenaran mutlak ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir materialistis (paham kebendaan). Demikian juga IPNU-IPPNU menolak pemahaman zahir (lahir) dan kelompok tekstual (literal), karena tidak memungkinkan memahami agama dan kenyataan sosial secara mendalam.
b. Cara Bersikap
IPNU-IPPNU memandang dunia sebagai kenyataan yang beragam. Karena itu keberagaman diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan kemajemukan tersebut agar harmonis (selaras), saling mengenal (lita’arofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat (selalu mengambil jalan tengah) dan menghargai perbedaan menjadi semangat utama dalam mengelola kemajemukan tersebut. Dengan demikian IPNU-IPPNU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau keberagaman budaya tersebut. Pluralitas, dalam pandangan IPNU-IPPNU harus diterima sebagai kenyataan sejarah.
c. Cara Bertindak
Dalam bertindak, Aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi Aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, IPNU-IPPNU tidak bersikap menerima begitu saja dan menyerah kepada nasib dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah dengan istilah kasab (usaha). Namun demikian, tidak harus berarti bersifat antroposentris (mendewakan manusia), bahwa manusia bebas berkehendak. Tindakan manusia tidak perlu di batasi dengan ketat, karena akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian IPNU-IPPNU tidak memilih menjadi sekuler, melainkan sebuah proses pergerakan iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.

III. LANDASAN BERSIKAP
Semua kader IPNU-IPPNU dalam menjalankan kegiatan pribadi dan berorganisasi harus tetap memegang teguh nilai-nilai yang diusung dari norma dasar keagamaan Islam ala ahlussunnah wal jama’ah dan norma yang bersumber dari masyarakat. Landasan nilai ini diharapkan dapat membentuk watak diri seorang kader IPNU-IPPNU.
Nilai-nilai tersebut adalah:
1. Diniyyah/Keagamaan
a. Tauhid (al-tauhid) merupakan keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT. sebagai sumber inspirasi berpikir dan bertindak.
b. Persaudaraan dan persatuan (al-ukhuwwah wa al-ittihad) dengan mengedepankan sikap mengasihi (welas asih) sesama makhluk.
c. Keluhuran moral (al-akhlaq al-karimah) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran (al-shidqu). Bentuk kebenaran dan kejujuran yang dipahami: (1) Al-shidqu il Allah. Sebagai pribadi yang beriman selalu melandasi diri dengan perilaku benar dan jujur, karena setiap tindakan senantiasa dilihat Sang Khalik; (2) Al-shidqu ila ummah. Sebagai makhluk sosial dituntut memiliki kesalehan sosial, jujur dan benar kepada masyarakat dengan senantiasa melakukan pencerahan terhadap masyarakat; (3) Al-shidqu ila al-nafsi, jujur dan benar kepada diri sendiri merupakan sikap perbaikan diri dengan semangat peningkatan kualitas diri; (4) Amar ma'ruf nahy munkar. Sikap untuk selalu menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran.

2. Keilmuan, Prestasi, dan Kepeloporan
a. Menunjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan semangat peningkatan kualitas SDM IPNU-IPPNU dan menghargai para ahli dan sumber pengetahuan secara proporsional.
b. Menunjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
c. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat.

3. Sosial Kemasyarakatan
a. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
b. Selalu siap mempelopori setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.

4. Keikhlasan dan Loyalitas
a. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang.
b. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa, dan negara dengan melakukan ikhtiar perjuangan di bawah naungan IPNU-IPPNU.

IV. LANDASAN BERORGANISASI
1. Ukhuwwah
Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kebersamaan, karena itu perlu diikat dengan ukhuwah (persaudaraan) atau solidaritas (perasaan setia kawan) yang kuat (al urwah al-wutsqo) sebagai perekat gerakan. Adapun gerakan ukhuwah IPNU-IPPNU meliputi:

a. Ukhuwwah Nahdliyyah
Sebagai gerakan yang berbasis NU ukhuwah nahdliyah harus menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk sektarianisme, melainkan sebaliknya sebagai pengokoh ukhuwah yang lain, sebab hanya kaum nahdiyin yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang moderat dan selalu menghargai perbedaan serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi, kepercayaan dan agama yang ada.
Kader IPNU-IPPNU yang mengabaikan ukhuwah nahdiyah adalah sebuah penyimpangan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dicurangi dan dibelokkan untuk kepentingan pribadi. Ukhuwah nahdliyah berperan sebagai landasan ukhuwah yang lain. Karena ukhuwah bukanlah tanggapan yang bersifat serta merta, melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu dikuatkan.

b. Ukhuwwah Islamiyyah
Ukhuwah Islamiyah mempunyai ruang lingkup lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut ukhuwah islamiyah sering diselewengkan oleh kelompok tertentu untuk menguasai yang lain. Relasi semacam itu harus ditolak, sehingga harus dikembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil.
Ukhuwah Islamiyah dijalankan untuk kesejahteraan umat Islam serta tidak diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. Dengan ukhuwah Islamiyah yang adil itu umat Islam Indonesia dan seluruh dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi serta membela dari gangguan kelompok lain yang membahayakan keberadaan iman, budaya dan masyarakat Islam secara keseluruhan.

c. Ukhuwwah Wathaniyyah
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka IPNU-IPPNU berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya terdiri dari berbagai warna kulit, agama dan budaya, tetapi juga mempunyai berbagai pandangan hidup.
IPNU-IPPNU, yang lahir dari akar budaya bangsa ini, tidak pernah mengalami ketegangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab keislaman IPNU-IPPNU adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya Indonesia); bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia).
Karena itulah IPNU-IPPNU berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathaniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathaniyah ini keberadaan NU, umat Islam dan agama lain terjaga. Bila seluruh bagian bangsa ini kuat, maka akan disegani bangsa lain dan mampu menahan penjajahan –dalam bentuk apapun- dari bangsa lain. Dalam kerangka kepentingan itulah IPNU-IPPNU selalu gigih menegakkan nasionalisme sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Indonesia.

d. Ukhuwwah Basyariyyah
Walaupun NU memegang teguh prinsip ukhuwah nahdliyah, islamiyah dan wathaniyah, namun NU tidak berpandangan dan berukhuwah sempit. NU tetap menjunjung solidaritas kemanusiaan seluruh dunia, menolak pemerasan dan penjajahan (imperialisme dan neoimperialisme) satu bangsa atas bangsa lainnya karena hal itu mengingkari martabat kemanusiaan. Bagi IPNU-IPPNU, penciptaan tata dunia yang adil tanpa penindasan dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai sarana penjajahan merupakan tindakan yang harus dicegah agar tidak meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah basyariyah memandang manusia sebagai manusia, tidak tersekat oleh tembok agama, warna kulit atau pandangan hidup; semuanya ada dalam satu persaudaraan dunia. Persaudaran ini tidak bersifat pasif (diam di tempat), tetapi selalu giat membuat inisiatif (berikhtiar) dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tata dunia baru yang lebih adil,beradab dan terbebas dari penjajahan dalam bentuk apapun.

2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba bersifat duniawi (kebendaan), sikap amanah mendapat tantangan besar yang harus terus dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran, baik pada diri sendiri maupun pihak lain. Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai ruh gerakan harus terus dipertahankan, dibiasakan dan diwariskan secara turun temurun dalam sikap dan perilaku sehari-hari.

3. Ibadah (Pengabdian)
Berjuang dalam NU untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian, baik mengabdi pada IPNU-IPPNU, umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di IPNU-IPPNU bukan untuk mencari penghasilan, pengaruh atau jabatan, melainkan merupakan ibadah yang mulia. Dengan semangat pengabdian itu setiap kader akan gigih dan ikhlas membangun dan memajukan IPNU-IPPNU. Tanpa semangat pengabdian, IPNU-IPPNU hanya dijadikan tempat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memproleh kepentingan pribadi atau golongan.
Lemahnya organisasi dan ciutnya gerakan IPNU-IPPNU selama ini terjadi karena pudarnya jiwa pengabdian para pengurusnya. Pengalaman tersebut sudah semestinya dijadikan pijakan untuk membarui gerakan organisasi dengan memperkokoh jiwa pengabdian para pengurus dan kadernya. Semangat pengabdian itulah yang pada gilirannya akan membuat gerakan dan kerja-kerja peradaban IPNU-IPPNU akan semakin dinamis dan nyata.

4. Asketik (Kesederhanaan)
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik (bersikap zuhud/sederhana). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbu al-dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat pengabdian, karena dipenuhi pamrih duniawi. Maka, sikap zuhud adalah suatu keharusan bagi aktivis IPNU-IPPNU. Sikap ini bukan berarti anti duniawi atau anti kemajuan, akan tetapi menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para salafus sholihin. Dengan sikap asketik itu keutuhan dan kemurnian perjuangan IPNU-IPPNU akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata bangsa ini.

5. Non-Kolaborasi
Landasan berorganisasi non-kolaborasi harus ditegaskan kembali, mengingat dewasa ini banyak lembaga yang didukung oleh pemodal asing yang menawarkan berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan NU secara umum, melalui campur tangan dan pemaksaan ide dan agenda mereka. Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka IPNU-IPPNU harus menolak untuk berkolaborasi (bekerja sama) dengan kekuatan pemodal asing baik secara akademik, politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader IPNU-IPPNU berkewajiban membangun paradigma (kerangka) keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa nusantara sendiri.

6. Komitmen Pada Korp
Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda organisasi, maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp (himpunan) organisasi. Karena itu seluruh anggota korp harus secara bulat menerima keyakinan utama yang menjadi pandangan hidup dan seluruh prinsip organisasi. Demikian juga pimpinan, tidak hanya cukup menerima ideologi dan prinsip pergerakan semata, tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak prinsip-prinsip tersebut.
Segala kebijakan pimpinan haruslah mencerminkan suara seluruh anggota organisasi. Dengan demikian seluruh anggota korp harus tunduk dan setia pada pimpinan. Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program, pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada anggota korp. Sebaliknya, anggota juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.


7. Kritik-Otokritik
Untuk menjaga keberlangsungan organisasi serta memperlancar jalannya program, maka perlu adanya cara kerja organisasi. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan, maka dibutuhkan kontrol terhadap kinerja dalam bentuk kritik-otokritik (saling koreksi dan introspeksi diri). Kritik-otokritik ini bukan dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan rasa kasih sayang demi perbaikan dan kemajuan IPNU-IPPNU.

VI. JATI DIRI IPNU-IPPNU
1. Hakikat dan Fungsi IPNU-IPPNU
a. Hakikat
IPNU-IPPNU adalah wadah perjuangan pelajar NU untuk menyosialisasikan komitmen nilai-nilai keislaman, kebangsaan, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan kemampuan yang dimiliki sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Fungsi
IPNU-IPPNU berfungsi sebagai:
a. Wadah berhimpun Pelajar NU untuk mencetak kader akidah.
b. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader ilmu
c. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader organisasi.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target kelompok) IPNU-IPPNU adalah setiap pelajar bangsa (siswa dan santri) yang syarat keanggotaannya sebagaimana diatur dalam PD/PRT.

2. Posisi IPNU-IPPNU
a. Intern (dalam lingkungan NU)
IPNU-IPPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lainnya, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan yang berdiri sendiri itu hanya dapat dibedakan dengan melihat kelompok yang menjadi sasaran dan bidang garapannya masing-masing.

b. Ekstern (di luar lingkungan NU)
IPNU-IPPNU adalah bagian integral dari generasi muda Indonesia yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuangan NU serta cita-cita bangsa Indonesia.

3. Orientasi IPNU-IPPNU
Orientasi IPNU-IPPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan gerakannya pada ranah keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa,” yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran.

a. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui keberagaman masyarakat, budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, hakekat dan martabat manusia, yang memiliki tekad dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan demokrasi.

b. Wawasan Keislaman
Wawasan keislaman adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam sebagai sumber nilai dalam menunaikan segala tindakan dan kerja-kerja peradaban. Ajaran Islam sebagai ajaran yang merahmati seluruh alam, mempunyai sifat memperbaiki dan menyempurnakan seluruh nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, IPNU-IPPNU dalam bermasyarakat bersikap tawashut dan i’tidal, menunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari sikap tatharruf (ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kezaliman); tasamuh, toleran terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan; tawazun, seimbang dan menjalin hubungan antar manusia dan Tuhannya, serta manusia dengan lingkungannya; amar ma’ruf nahy munkar, memiliki kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkungan, mandiri, bebas, terbuka, bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.

c. Wawasan Keilmuan
Wawasan keilmuan adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader. Sehingga ilmu pengetahuan memungkinkan anggota untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya dan tidak menjadi beban sosial lingkungan. Dengan ilmu pengetahuan, akan memungkinan mencetak kader mandiri, memiliki harga diri, dan kepercayaan diri sendiri dan dasar kesadaran yang wajar akan kemampuan dirinya dalam masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berguna.

d. Wawasan Kekaderan
Wawasan kekaderan ialah wawasan yang menempatkan organisasi sebagai wadah untuk membina anggota, agar menjadi kader–kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi dan cita–cita perjuangan organisasi, bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam ala ahlussunnah wal jamaah, memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan utuh, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasi, kepemimpinan, kemandirian, dan populis.

e. Wawasan Keterpelajaran
Wawasan keterpelajaran ialah wawasan yang menempatkan organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai center of excellence (pusat keutamaan) pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik yang berilmu, berkeahlian, dan mempunyai pandangan ke depan, yang diikuti kejelasan tugas sucinya, sekaligus rencana yang cermat dan pelaksanaannya yang berpihak pada kebenaran.
Wawasan ini mensyaratkan watak organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus; mencintai masyarakat belajar; mempertajam kemampuan mengurai dan menyelidik persoalan; kemampuan menyelaraskan berbagai pemikiran agar dapat membaca kenyataan yang sesungguhnya; terbuka menerima perubahan, pandangan dan cara-cara baru; menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan tradisi serta sejarah keilmuan; dan berpandangan ke masa depan.

Kamis, 15 Februari 2018

BIOGRAFI SANG PENDIRI NU KH. HASYIM ASYARI

KH. M. Hasyim Asy’ari Pendiri dan Pegasuh Pertama Pesantren Tebuireng (1899 – 1947)

ASSALAMUALAIKUM WR. WB.
sudah lama kami tidak memposting tentang NU hehe kali ini saya akan memposting biografi sang pendiri NU yakni KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.
Kelahiran dan Masa Kecil
Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari l871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang jadi 14 februari bukan valentine days yaa rekan/rekanita tapi kelahiran ulama yang sangat berjasa pada kita jadi mari kita rubah dan hilangkan valentine days dan diganti dengan mengadakan doa untuk kelahiran ulama kita khususnya orang nahdliyin. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana.
Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Mencari Ilmu
Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun di sana. Lalu pada usia 21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis.
Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga; gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.
Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.
Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.
Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi. 
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu asar.
Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca setiap selesai salat asar.
Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”
Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
***
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
***
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”
Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
Komite Hijaz dan Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Berjuang Mengusir Penjajah
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.
Dipanggil Yang Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.
***
Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. [
SEKIAN DARI KAMI PAC IPNU-IPPNU KRIAN SELAMAT BELAJAR BERJUANG BERTAQWA
WASSALAMUALAIKUM WR.WB.

tentang kh ali masud

SILSILAH MBAH ALI MAS'UD PAGERWOJO, BUDURAN, SIDOARJO. (KETURUNAN DARI SUNAN GUNUNG JATI)

SILSILAH MBAH ALI MAS'UD PAGERWOJO, BUDURAN, SIDOARJO JAWA TIMUR. TANPA MELIHAT JALUR PRIA ATAU WANITA. SEBAGAI AJANG SILATURRAHIM BAGI ORANG-ORANG YANG MENGAGUMI MBAH ALI MAS'UD. KETURUNAN DARI SUNAN GUNUNG JATI.
  1. Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Fatimah Az-Zahrah.
  3. Sayyid Husain.
  4. Sayyid Zainal Abidin.
  5. Sayyid Muhammad Baqir.
  6. Sayyid Ja'far Shadiq.
  7. Sayyid Ali Al-Uraidli.
  8. Sayyid Muhammad Naqib.
  9. Sayyid Isa Ar-Rumi.
  10. Sayyid Ahmad Muhajir.
  11. Sayyid Ubaidillah.
  12. Sayyid Alwi.
  13. Sayyid Muhammad.
  14. Sayyid Alwi.
  15. Sayyid Ali Kholi' Qosam.
  16. Muh. Shahib Mirbat.
  17. Sayyid Alwi.
  18. Sayyid Amir Abdil Malik.
  19. Sayyid Abdillah Khan.
  20. Sayyid Ahmad Syah Jalal.
  21. Sayyid Jamaluddin Husain.
  22. Sayyid Nurul Alam.
  23. Sayyid Abdullah.
  24. Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati.
  25. Pangeran Pasarean/M. Tajul Arifin.
  26. Panembahan Sendang Kemuning.
  27. Pangeran Mas /Panembahan Ratu II
  28. Pangeran Sedang Gayam/Mande Gayam.
  29. Pangeran Karim/Cirebon V/Girilaya.
  30. Syarifah Khodijah/Ratu Ayu Satijah/Ratu Setu.
  31. Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung.
  32. Sayyid Ali Akbar Dresmo Sby.
  33. Sayyid Iskandar Taman Bungkul Sby.
  34. Zakiatus Shalihah.
  35. Rubaiah Arjosari Japanan.
  36. K. Muhayyin Sono Buduran Sidoarjo.
  37. K. Zarkasi.
  38. K. Said.
  39. KH. Ali Mas'ud.
H. Moh. Khotib Ketegan RT.01 RW.02
Tanggulangin Sidoarjo Jawa Timur.
No. HP : 082228423499 

Selasa, 16 Januari 2018

SEJARAH CORPS BRIGADE PEMBANGUNAN (CBP)

Sejarah Singkat CBP



ASSALAMUALAIKUIM wr. wb.
SALAM 3B
selamat datang kembali di blog kami PAC IPNU-IPPNU KRIAN kali ini kami ingin posting tentang keamanan atau garda terdepan IPNU-IPPNU hehehe.....
Lembaga Corp Barisan Pelajar adalah suatu organisasi yang bergerak dalam pengembangan kreatifitas, kemanusiaan, lingkungan hidup, pengabdian masyarakat bangsa dan negara (Bela Negara). Berdiri tahun 1965 dalam kongres IPNU Ke IV di Pekalongan Jawa Tengah.Corp Barisan Pelajar (CPB) merupakan lembaga yang dibentuk di latar belakangi peristiwa persengketaan Indonesia dan malaysia, Peristiwa politik yang berkaitan persengketaan antara RI dan malaysia merebutkan daerah Kalimantan Utara (Serawak).
Kondis riil yang terjadi saat itu dilihat dari konteks politik luar negri terjadi pertentangan antara 
gagasan soekarno yang yang anti imperialisme dengan pihak barat yang berupaya menancapkan kukunya
 di wilayah malaysia, Presiden soekarno menginstruksikan kepada seluruh elemen bangsa membentuk
 suka relawan perang dan siap menggayang malaysia.Intruksi Presiden tersebut secara langsung
 membuat seluruh elemen bangsa bersiap sedia untuk melawan imperialisme yang akan kembali
di tancapkan di wilayah Asia Tenggara. Asnawi Latief, selaku ketua umum PP IPNU yang merupakan
 bagian dari elemen bangsa merasa terpanggil untuk berjuang bersama melawan imperialisme barat,
yang terbentuk dari kalangan pelajar nahdliyin yang kemudian di namakan dengan Suka Relawan pelajar.
Deklarasi dibentuknya sukarelawaan pelajar diadakan di jogjakarta pada, 19 September 1963 yang pada
 saat itu merupakan lokasi dari kantor pusat PP IPNU, dibarengi dengan parade militer TNI yang
 merupakan wujud dari kesiapan RI menggayang malaysia.Semenjak saat itulah kemudian sukarelawan
 pelajar yang dibentuk oleh rekan Asnawi Latief selaku ketua umum PP. IPNU pada saat itu, berjuang
 demi memperjuangkan bangsa dan negara. Sukarelawan pelajar ini yang merupakan embrio bagi
 berdirinya CBP IPNU yang ditetapkan di konferensi besar IPNU di pekalongan pada tanggal,
 25 – 31 oktober 1964 dengan nama Corp Brigade Pembangunan (CBP) yang kemudian dikenal dengan
“Doktrin Pekalongan”.
Secara bahasa Corp berasal dari bahasa inggris yang memiliki arti kesatuan dalam komando,
Brigade berarti pasukan yang disiapkan untuk bertempur dan Pembangunan memiliki arti membangun
 dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sedangkan secara terminologi Corp Brigade Pembangunan berarti
 suatu lembaga yang dibentuk dalam satu komando untuk mengawal pembangunan.Pada moment
tersebut Asnawi Latief selaku ketua umum PP IPNU menunjuk rekan Harun Rosyidi untuk menjadi
 komandan teknis CBP, Pasca ditunjuk sebagai komandan teknis CBP, rekan harun rosyidi mengumpulkan
 kader-kader inti IPNU yang berpotensi untuk selanjutnya dididik dan dilatih kemiliteran serta keamanan
 guna mengantisipasi gerakan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
 baik dari dalam maupun luar. Kondisi ini ditempuh karena stabilitas politik dan keamanan yang tidak
 menentu pada saat itu.
Kemudian, pada taahun 1965 saat terjadi peristiwa G 30 S PKI. CBP sangat berperan aktif dalam upaya memberantas PKI dan antek-anteknya.
Ghirroh patriotisme pelajar tersebut setelah terjadinya perubahan rezim dan perubahan kondisi sosial politik Indonesia semakin surut. CBP menjadi sebuah nama yang seamakin tenggelam, hingga kemudian masa kepemimpinan Hilmi Muhammadiyyah Ketua Umum PP IPNU pada tahun 1999 CBP dideklarasikan kembali di Pondok Pesantren Pancasila Sakti Klaten Jawa Tengah. Pendeklarasian ini merupakan upaya IPNU untuk bisa memberikan kontribusinya secara lebih luas pada era reformasi yang sedang gencar-gencarnya oleh masyarakat seluruh Indonesia. Kemudian rekan Hilmi Muhammadiyyah menunjuk rekan Agus Salim untuk menjadi Komandan Nasional CBP. Pasca ditunjuk sebagai Kornas CBP, rekan Agus Salim sangat gencar melakukan sosialisasi ke daerah-daerah untuk mengaktifkan kembali CBP sampai ketingkat Ranting, Hingga memasuki kongres XIII tahun 2000 di Makasar yang menetapkan rekan Abdullah Azwar Anas sebagai Ketua Umum IPNU, selanjutnya ditunjuklah Rekan Edi syam Risdiyanto.
Pada masa ini CBP bergerak pada empat bidang yakni :
Kepanduan, Kepalangmerahan, SAR dan Cinta Alam. Rekan Edisyam berhasil merumuskan kembali pola CBP dengan format baru yang terangkum dalam peraturan organisasi, penjabaran peraturan organisasi serta sistem pendidikan dan pelatihan sebagai acuan dan panduan kegiatan di seluruh Indonesia. Rumusan – rumusan tersebut dibukukan pada masa itu yang disahkan pada masa kepemimpinan Al- Amin Nur Wahab Nasution sebagai Pj Ketua Umum IPNU yang menggantikan Rekan Abdullah Azwar Annas.
Perjuangan CBP tidak berhenti disitu saja, pada kongres XIV Surabaya tahun 2003 yang menetapkan Mujtahir Ridlo sebagai Ketua Umum IPNU, melanjutkan progam CBP sebelumnya dibawah komando Rekan Ali Masdar Hasibuan.Pada masa ini lebih difokuskan pada praktek kelapangan terutama bidang SAR dan kepalang merahan, disebabkan seringnya terjadi bencana Alam skala Nasional misalnya terjadi Tsunami di Aceh, Tanah Longsor di banjar negara, Banjir Bandang di Jember, Gempa Jateng Jogja, Gempa dan Tsunami di Pengandaran Jawa Barat. Pada periode ini pula CBP yang bergerak di empat bidang yakni : Kepanduan, Kepalangmerahan, SAR dan Cinta Alam difokuskan pada 3 bidang yakni : kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan kedisiplinan yang ditetapkan dalam Rakornas CBP pada 6 – 8 Januari 2006, bertempat di Wisma Depag Jakarta Selatan. Program ini berlanjut hingga kongres IPNU XV di asrama Haji Pondok Gede, 9-12 Juli 2006 yang menetapkan Rekan Idy Muzayyad sebagai ketua umum IPNU dan selanjutnya menunjuk rekan Alvin M Hasanil Haq sebagai Komandan Nasional.
Pada masa kami banyak hal yang dilakukan dalam rangka memajukan dan mengembangkan potensi kader-kader CBP diantaranya : Kemah Pelajar Hijau dalam rangka Diklat Peduli Lingkungan , 6 – 8 April 2007 di Ponpes Wali Songo Gomang Singgahan Tuba, Workshop Ke-CBP-an ,17 – 20 Mei 2007 di Ponpes Maslakul Huda Pati. Tidak sampai disitu saja CBP juga ikut serta dalam berbagai event kemanusiaan misalnya pada saat terjadi Banjir Bandang di Jakarta.Hasil workshop di Pati mengamanatkan CBP untuk menyelenggarakan rakornas yang kemudian terselenggara pada, 22 – 25 Agustus 2007 bertempat di Hotel Diamond Samarinda bersamaan dengan penyelenggaraan Rakernas IPNU. Pada Rakornas ini di putuskan beberapa hal yang berkaitan dengan Ke-CBP-an diantaranya adalah sasaran kegiatan CBP yang semula kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Kedisiplinan menjadi Kemanusiaan, Lingkungan Hidup, dan Bela Negara.
Corps Brigade Pembangunan (CBP) merupakan lembaga yang dibentuk pada tahun 1963 dalam hal itu di latar belakangi peristiwa persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia atau istilah populernya dikenal dengan istilah “ Ganyang Malaysia “, peristiwa politik tersebut yang berkaitan dengan persengketaan antara Republik Indonesia dengan Malaysia memperebutkan daerah Kalimantan Utara  (Serawak).
    Kondisi riil yang terjadi pada saat itu untuk conteks_nya yaitu politik luar negeri terjadi pertentangan antara gagasan Presiden Soekarno yang anti Imperalisme dengan pihak barat yang berupaya menancapkan kukunya diwilayah Malaysia. Kemudian Presiden Soekarno mengintruksikan kepada elemen bangsa untuk segera membentuk Sukarelawan Perang dan siap menggayang Malaysia.
    Instruksi Presiden tersebut secara langsung membuat seluruh elemen bangsa bersiap sedia untuk melawan Imperalisme yang akan kembali menancapkan kukunya diwilayah Asia Tenggara, Asnawi Latif pada waktu itu selaku Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulaqma yang merupakan bagian dari elemen bangsa merasa terpanggil untuk berjuang bersama melawan iperalisme dari bangsa barat, yang terbentuk dari kalangan pelajar Nahdhiyyin yang kemudian dinamakan Sukarelawan Pelajar.
    Deklarasi dibentuknya sukarelawan Pelajar diadakan di Djogjakarta yang pada saat itu merupakan lokasi dari kantor pusat PP IPNU, dan di barengi dengan parade militer  Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan wujud dari kesiapan RI untuk Menggayang Malaysia.
    Sejak saat itulah kemudian Sukarelawan Pelajar yang dibentuk oleh Asnawi Latif tersebut berjuang demi memperjuangkan Negara dan Bangsa untuk keutuhan NKRI. Sukarelawan ini yang merupakan Embrio atau cikal bakal bagi berdirinya Corps Brigade Pembangunan (CBP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Yang kemudian ditetapkan pada Konferensi Besar IPNU di Pekalongan pada tanggal 25 – 31 Oktober 1964 dengan nama Corps Brigade Pembangunan (CBP). Yang kemudian dikenal dengan “doktrin Pekalongan”
Secara etimologi  Corps berasal dari bahasa Inggris yang memilki arti kesatuan dalam komando,  Brigade berarti pasukan yang disiapkan untuk bertempur dan Pembangunan, memiliki arti membangun dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sedangkan secara terminologi Corps brigade pembangunan berarti suatu lembaga yang dibentuk dalam satu komando untuk mengawal pembangunan.
Pada moment tersebut Asnawi Latief selaku ketua umum PP IPNU menunjuk Rekan Harun Rosyidi untuk menjadi Komandan Teknis CBP. Pasca ditunjuk sebagai komandan tehnis CBP, rekan Harun Rosyidi mengumpulkan kader-kader inti IPNU yang berpotensi untuk selanjutnya dididik dan di latih kemiliteran serta keamanan guna mengantisipasi gerakan yang membahayakan keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) baik dari dalam maupun luar. Kondisi ini ditempuh karena stabilitas politik dan kemanan yang tidak menentu pada saat itu.
Kemudian, pada tahun 1965 saat terjadinya peristiwa G 30 S PKI. CBP sangat berperan aktif dalam upaya memberantas PKI dan antek-anteknya.  Ghirrah Patriotisme Pelajar tersebut setelah terjadinya perubahan rezim dan perubahan kondisi sosial politik Indonesia semakin surut. CBP menjadi sebuah nama yang semakin tenggelam. Hingga kemudian masa kepemimpinan Hilmi Muhammadiyah Ketua Umum PP IPNU pada tahun 1999 CBP dideklarasikan kembali di Pondok Pesantren Pancasila Sakti Klaten Jawa Tengah. Pendeklarasian kembali ini merupakan upaya IPNU untuk bisa memberikan kontribusinya secara lebih luas pada Era reformasi yang sedang gencar-gencarnya diteriakkan oleh masyarakat seluruh Indonesia. Kemudian rekan Hilmi Muhammadiyah menunjuk rekan Agus Salim untuk menjadi Koordinator Nasional (KORNAS) CBP. Pasca ditunjuk sebagai KORNAS CBP, rekan Agus Salim sangat gencar melakukan sosialisasi ke daerah-daerah untuk mengaktifkan kembali CBP sampai ke tingkatan ranting,  Hingga memasuki kongres XIII tahun 2000 di Makasar yang menetapkan rekan Abdullah Azwar Anas sebagai Ketua Umum IPNU, selanjutnya ditunjuklah Rekan Edisyam Risdiyanto menjadi Kornas.
 Pada masa ini CBP bergerak pada empat bidang yakni : Kepanduan, Kepalangmerahan, SAR dan Cinta Alam. Rekan Edisyam berhasil merumuskan kembali pola CBP dengan format baru yang terangkum dalam peraturan organisasi/lembaga, penjabaran peraturan organisasi/lembaga serta sistem pendidikan dan pelatihan sebagai acuan dan panduan kegiatan CBP diseluruh Indonesia. Rumusan-rumusan tersebut dibukukan pada masa itu yang disahkan pada masa kepemimpina Al Amin Nur Wahab Nasution sebagai Pj Ketua Umum IPNU yang menggantikan Rekan Abdullah Azwar Anas.
Perjuangan CBP tidak berhenti sampai disitu saja, pada Kongres XIV Surabaya tahun 2003 yang menetapkan Rekan Mujtahidur Ridlo sebagai Ketua Umum IPNU, melanjutkan program CBP sebelumnya dibawah komando Rekan Ali Masdar Hasibuan.
Pada masa ini lebih banyak difokuskan pada praktek terjun kelapangan terutama bidang SAR dan kepalang merahan, disebabkan seringnya terjadi bencana skala nasional misalnya terjadinya Tsunami di Aceh, Tanah Longsor di Banjar Negara, Banjir bandang di Jember, Gempa Jateng-Jogja, Gempa dan Tsunami di Pengandaran Jawa Barat. Pada periode ini pula CBP yang bergerak di empat bidang yakni : Kepanduan, Kepalangmerahan, SAR dan Cinta Alam difokuskan menjadi 3 bidang yakni : Kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Kedisiplinan yang ditetapkan dalam Rakornas CBP pada 6 – 8 Januari 2006 bertempat di Wisma Depag Jakarta Selatan. Program ini berlanjut hingga Kongres IPNU  XV di Asrama haji Pondok Gede Jakarta, 9 – 12 Juli 2006 yang menetapkan Rekan Idy Muzayyad sebagai ketua umum IPNU dan selanjutnya menunjuk Rekan Alvin M Hasanil Haq sebagai Komandan Nasional.
Pada masa ini banyak hal yang dilakukan dalam rangka memajukan dan mengembangkan potensi kader-kader CBP diantaranya : Kemah Pelajar Hijau dalam Rangka Diklat Peduli Lingkungan 6 – 8 April 2007 di Ponpes Wali Songo Gomang Singgahan Tuban, Workshop Ke-CBP-an 17 – 20 Mei 2007 di Ponpes Maslakul Huda pati. Tidak sampai disitu saja CBP juga ikut serta dalam berbagai event kemanusiaan misalnya pada saat terjadi Banjir Bandang di Jakarta.
    Hasil Workshop di Pati mengamanatkan CBP untuk menyelenggarakan Rakornas yang kemudian terselenggara pada 22 – 25 Agustus 2007 bertempat di Hotel Diamond Samarinda bersamaan dengan penyelenggaraan Rakernas IPNU. Pada Rakornas ini diputusakan beberapa hal yang bekaitan dengan Ke-CBP-an diantaranya adalah sasaran kegiatan CBP yang semula Kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Kedisiplinan menjadi Kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Bela Negara, kemudian juga pada Rakornas pada saat itu terjadi perubahan nama dari Corps Brigade Pembangunan menjadi CORPS BARISAN PELAJAR.
Pada kongres 14 terpilihnya Ahmad Syauqi kemudian menunjuk rekan Randi Ridwan sebagai KORNAS berikutnya. Namun selama 1 th berjalan CBP tidak mengalami kemajuan yang signifikan akhirnya melalui mekanisme reshufle Ahmad Syauqi menunjuk rekan Muhammad Syahrial menggantikan Randi Ridwan dan pada workshop CBP tanggal 26 – 28 Juni 2010 di Sidoarjo terjadi beberapa perubahan yang signifikan pada tubuh CBP yakni :
1.    Perubahan nama CORPS BARISAN PELAJAR dikembalikan menjadi CORPS BRIGADE PEMBANGUNAN
2.    Peraturan Organisasi dan Peraturan Administrasi (PO/PA) diubah menjadi Peraturan Lembaga dan Administrasi (PLA). Peraturan Diklat diubah menjadi Petunjuk Pelaksanaan Teknis Operasi Pendidikan dan Pelatihan (JUKLAK TEKOPS DIKLAT)
3.    Peraturan Dewan Komando Nasional tentang Nomor Induk Anggota sebagai dasar pembuatan Database CBP.
4.    Mekanisme Lembaga yang sebelumnya DEWAN KOORDINASI menjadi DEWAN KOMANDO
5.    Perubahan itu berimplikasi pada struktur jabatan di CBP yakni :
a.    Koordinator Nasional (KORNAS) menjadi Komandan Nasional (DAN NAS)
b.    Koordinator Wilayah (KORWIL) menjadi Komandan Wilayah (DAN WIL)
c.    Koordinator Cabang (KORCAB) menjadi Komandan Cabang (DAN CAB)
d.    Koordinator Anak Cabang (KORANCAB) menjadi Komandan Anak Cabang (DAN ANCAB)
6.    Penambahan Kesatuan di tingkatan komisariat/ranting disebut peleton  dipimpin oleh seorang komandan peleton (DAN TON) yang langsung membawahi anggota. Mekanisme pemilihan komandan peleton ditunjuk langsung oleh DAN ANCAB
Hasil Workshop sidoarjo disahkan pada RAKORNAS di Pontianak Kalimantan Barat pada tanggal 29 Juli – 2 Agustus 2010.



LAMBANG
Lambang Lembaga  dan arti :
1.    Lambang berbentuk segi lima dan di batasi oleh garis yang berwarna merah putih. Arti segi lima melambangkan rukun islam dan pancasila, garis merah putih mengandung arti bahwa  CBP setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Warna dasar hijau, mengadung arti kemakmuran, kesuburan
3.    Pada bagian dalam terdapat :
a.    Bintang berjumlah sembilan buah berwarna kuning yang mengelilingi bola dunia yang berwarna biru langit. Bintang yang paling besar melambangkan Nabi Muhammad SAW. 4 (empat) bintang disamping kiri dan kanan melambangkan 4 (empat)sahabat nabi yang sering disebut Khulafaur Rasyidin yakni Sayidina Abu Bakar RA,Sayidina Umar RA, Sayidina Usman RA dan Sayidina Ali RA. 4 (empat) bintang di bawahnya melambangkan 4 (empat) madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hambali). Bola dunia berwarna biru langit melambangkan wawasan yang luas warna biru langit melambangkan Perdamaian
b.    Dibawah bintang terdapat buku terbuka yang berwarna putih yang ditopang oleh bambu runcing dan bulu angsa, dan dibawahnya terdapat tulisan CBP yang berwarna merah. Buku terbuka dan bulu angsa dengan jumlah ruas sebanyak sembilan menggambarkan bahwa CBP merupakan tempat belajar bagi siapa saja. Sedangkan bambu kuning melambangkan perjuangan yang gigih.
BENDERA
1.    Ukuran    PXL = 100 X 80 CM
2.    Bahan kain berwarna putih.
3.    Gambar lambang sesuai dengan ketentuan lambang
4.    Bendera digunakan pada acara-acara semua kegiatan yang bersifat layak baik intern maupun ekstern .
SERAGAM
Seragam Corps Brigade Pembangunan
1.    Berupa baju lengan pendek jenis kain Ripstop warna hitam dengan dua buah saku, di atas saku kanan terdapat tulisan Nama, sebelah kiri tertulis CBP. Lambang CBP dilengan kiri dan Lambang IPNU disebelah kanan dan diatas Lambang CBP terdapat tulisan tingkatan Komando.
2.    Celana Panjang jenis kain Ripstop hitam dengan dua buah saku kanan kiri serta dua saku di belakang, satu saku sebelah kanan tertutup.
3.    Topi pet Marine style warna hitam  dengan Lambang CBP di bagian depan, di samping kanan terdapat tingkatan kepengurusan, disebelah kiri terdapat nama pemegang.dan topi mute yang berwarna krem dengan tiga garis  berwarna putih dikelilingi warna merah khusus komandan di masing-masing tingkatan.
4.    Ikat pinggang warna Hitam
5.    Sepatu PDH warna hitam.
-    Seragam PDL ;
1.    Berupa kaos lengan panjang berwarna hitam, dengan pelindung bahu, pelindung siku kanan dan siku kiri berwarna Oranye. Terdapat Logo IPNU di dada sebelah kanan dan Logo CBP di dada sebelah kiri. Dibelakang terdapat tulisan CORPS BRIGADE PEMBANGUNAN mendatar dan dibawahnya tertulis IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA dan tingkatan kepengurusan dengan huruf kapital.
2.    Celana panjang kargo warna hitam.
3.    Ikat pinggang kople rim warna hitam
4.    Topi Rimba Warna Hitam dengan Lambang CBP di bagian atas depan
5.    Sepatu PDL TNI berwarna Hitam.
MARS
MARS CORPS BRIGADE PEMBANGUNAN
CBP…CBP…
Pelajar Nahdliyin Patria
Api Islam Berkobar Menyala di Dada
CBP…CBP…
Menjebol membangun satu cita
Cita Indonesia sosialis Pancasila
Maju Padu Pantang Mundur
Berjuang mengemban ampera
Basmi Penindasan
Jayalah bangsa Paramarta
CBP…CBP…
Siaga berjuang setia
Menjebol membangun…Ayo ora Et labora
PANCA SATYA CORPS BRIGADE PEMBANGUNAN
1.    Kami Anggota Corps Brigade Pembangunan adalah Insan  yang bertaqwa kepada Allah SWT.
2.    Kami Anggota Corps Brigade Pembangunan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3.    Kami Anggota Corps Brigade Pembangunan Setia kepada Tanah Air, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.    Kami Anggota Corps Brigade Pembangunan senantias menjaga kehormatan diri, keluarga, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.    Kami Anggota Corps Brigade Pembangunan memegang teguh disiplin dan kode etik Corps sekuat-kuatnya.
NASKAH PEMBAI’ATAN
Bismillahirrohmaanirrohim
Asyhadu an laa ilaaha illa al Alloh
Wa asyhadu anna muhammadarrasuululloh
Dengan ikhlas sadar dan penuh tanggung jawab dengan ini saya berjanji :
1.    Senantiasa menjunjung tinggi martabat dan nama baik agama islam serta berusaha mewujudkan terlaksananya ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah di tengah tengah masyarakat
2.    Senantiasa mempertahankan dan mengamalkan pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen
3.    Senantiasa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk menunjang program pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang diridloi Alloh SWT.
4.    Senantiasa setia melaksanakan tugas dan kewajiban organisasi IPNU dan CBP dengan tulus, ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab
5.    Senantiasa taat dan patuh kepada peraturan dasar dan peraturan rumah tangga Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan peraturan organisasi CBP
Semoga Allah SWT meridloi saya.
Laa Haula Walaa Quwwata Illa billahil Aliyyul Adziim

OKE ITU DIA SEJARAH TENTANG CBP KLO ADA YG SALAH KAMI MOHON MAAF YAA
SELAMAT BELAJAR BERJUANG SERTA MENGABDI
SALAM PERMATA NUSA
SALAM PERTMATA BANGSA
SALAM PERMATA INDONESIA
WASSALAMUALAIKUM WR. WB.

POSTED BY:IPNU-IPPNU KRIAN